MAKALAH FIQH
BAB II
PEMBAHASAN
1.JI’ALAH (SAYEMBARA)
Pengertian Ji’alah
Kata ji’alah secara
bahasa artinya mengupah. Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid
Sabiq : “Sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang
diduga kuat dapat diperoleh.”
Istilah ji’alah dalam
kehidupan sehari-hari diartikan oleh fuqaha yaitu memberi upah kepada orang
lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit
atau menggali sumur sampai memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah
kompetisi. Jadi, ji’alah bukan terbatas pada barang yang hilang namun dapat setiap
pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.
Kata ji’alah dapat
dibaca jaalah. Pada zaman Rasulallah ji’alah telah diperaktekan. Dalam kitab
Shahih Bukhari dan Muslim terdapat hadits yang menceritakan tentang seorang
badui yang disengat kalajengking kemudian dijampi oleh seorang sahabat dengan
upah bayaran beberapa ekor kambing.
Landasan Hukumnya
Jumhur fuqaha sepakat
bahwa hukum ji’alah adalah mubah. Hal
ini didasari karena ji’alah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Jialah
merupakan akad yang sangat manusiawi, karena seseorang dalam hidupnya tidak
mampu untuk memenuhi semua pekerjaan dan keinginannya kecuali jika ia
memberikan upah kepada orang lain untuk membantunya. Contoh, Orang yang
kehilangan dompetnya maka ia sangat sukar jika ia mencari sendiri dompetnya
yang hilang tanpa bantuan orang lain. Maka ia meminta kepada orang lain untuk
mencarinya dengan iming-iming upah dari pekerjaan itu.
Dalam hal lain, yang
masih termasuk ji’alah Rasulallah membolehkan memberikan upah atas pengobatan
yang menggunakan bacaan al-Qur’an dengan surat al-fatihah. Ji’alah
diperbolehkan lantaran diperlukan, karena itu di dalam ji’alah diperbolehkan
apa-apa yang tidak diperbolehkan untuk lainnya.
Dalam Al-Qur’an Dengan
tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada orang lain yang telah berjasa
menemukan barang yang hilang. Hal itu di tegaskan dalam al-Qur’an surat Yusuf
ayat 72:
Artinya: “Penyeru-penyeru
itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya".
Pendapat Ulama Mengenai
Ji’alah
Para ulama berselisih
pendapat tentang larangan dan kebolehan ji’alah. Imam malik berpendapat bahwa
pengupahan itu dibolehkan pada sesuatu yang sedikit (ringan) dengan dua syarat.
pertama: Tidak ditentukan masanya. Kedua: Upahnya diketahui. Fuqaha yang
membolehkan pengupahan berpegang kepada firman Allah dalam surat Yusuf ayat 72
tersebut, dan juga berpegang kepada ijma
‘jumhur fuqaha’ tentang kebolehan pengupahan berkenaan dengan larinya hamba dan
permintaan. Begitu juga dengan sabda Rasulallah dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam al-Jama’ah kecuali imam Nasa’I dari Abu Sa’id al-Khudri.
Suatu ketika sahabat
Rasulallah mendatangi sebuah perkampungan, namun mereka tidak dilayani layaknya
tamu, tiba-tiba pemimpin mereka terserang penyakit, kemudian penduduk desa
meminta sahabat untuk menyembuhkannya. Sahabat Rasul mengiya-kan dengan catatan
mereka diberi upah. Syarat ini disetujui, kemudian seorang sahabat membaca
al-fatihah, maka akhirnya pemimpin tersebut sembuh. Kemudian, hadiah pun
diberikan. Akan tetapi sahabat tidak mau menerima sebelum lapor dari
Rasulallah, maka Rasulallah tersenyum melihat atas laporan kejadian itu.
Tidak diperselisihkan
lagi dalam madzhab Maliki, bahwa upah itu bisa dimiliki kecuali apabila
pekerjaan telah selesai, dan bahwa pengupahan itu tidak termasuk akad
(perjanjian) yang mengikat.
Sedangkan Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa pengupahan itu tidak boleh. Fuqaha yang tidak
membolehkan pengupahan beralasan bahwa di dalam pengupahan itu terdapat
kesamaran (al gharar), karena disamakan dengan sewa-menyewa yang lain. Yakni,
ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan. Hal ini ketika
dianalogikan dengan akad ijarah yang mensyaratkan adanya kejelasan atas
pekerjaan, upah dan jangka waktu. Namun demikian, ada sebagian ulama’ Hanafiyah
yang membolehkannya, dengan dasar istihsan (karena ada nilai manfaat).
Pelaksanaan Ji’alah
Teknis pelaksanaan
ji’alah dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama
ditentukan oleh orangnya, misalnya si Budi, maka si Budi sendiri berusaha
mencari barang yang hilang. Kedua
secara umum artinya seorang yang diberi pekerjaan mencari bukan satu orang,
tetapi bersifat umum yaitu siapa saja. Misalnya, seorang berkata “Siapa saja
yang bisa mengembalikan binatangku yang hilang maka aku akan berikan imbalan
sekian”.
Hal lain yang perlu
diperhatikan bahwa dalam ji’alah tidak dapat disyaratkan datang dari si pemilik
barang yang hilang. Siapa saja yang mengatakan “Siapa saja yang dapat
mengembalikan barang hilang kepunyaan si fulan maka ia akan kuberikan upah
sekian”. Kemudian, ada orang yang mengembalikan barang ini baik ia mendengar
berita ini dari yang mengatakan tadi atau berita itu disampaikan oleh orang
lain ketelinganya maka ia berhak menerima ju’lu (upah), hal tersebut dapat dibenarkan karena dalam
ji’alah disyaratkan besar jumlah upah
yang harus ia terima artinya ia harus tahu berapa jumlah yang ia terima jika
berhasil mengembalikan barang karena hal ini sama dengan sewa-menyewa. kalau
upah yang akan diberikan itu majhul (tidak diketahui) maka hukumnya fasid
(rusak). Bagaimana jika orang yang mengembalikan barang yang hilang itu
jumlahnya banyak bukan satu orang, Maka upahnya itu dibagi rata karena mereka
sama-sama bekerja meskipun kualitas kerjanya tidak sama.
Kalau orang yang
kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum, “siapa yang mendapatkan barangku
akan ku beri uang sekian”. Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu,
sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang akan dijanjikan
tadi berserikat antara keduanya.
Rukun Ji’alah
Ada beberapa rukun yang
harus dipenuhi dalam ji’alah:
1. Lafal: Lafal itu
mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak ditentukan waktunya.
Jika mengerjakan ji’alah tanpa seizing orang yang menyuruh (Pemilik barang)
maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.
2. Orang yang menjanjikan
memberi upah: Dapat berupa orang yang kehilangan barang atau orang lain.
3. Pekerjaan: Mencari
barang yang hilang.
4. Upah harus jelas: Telah
ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan pekerjaan
(menemukan barang).
Kalau orang yang
kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum ”siapa yang menemukan barangku
akan aku beri uang sekian, kemudian dua orang mencari barang itu sampai
keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang di janjikan tadi
berserikat antara keduanya.
Pembatalan Ji’alah
Pembatalan ji’alah
dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang kehilangan barang dengan
orang yang dijanjikan ji’alah atau orang yang mencari barang) sebelum bekerja.
Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja mencari barang, maka ia tidak
mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi, jika yang membatalkannya
itu pihak yang menjanjikan upah maka yang bekerja menuntut upah sebanyak
pekerjaan yang telah dilakukan.
Hikmah Ji’alah
Ji’alah merupakan
pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi karena orang itu telah
bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu yang berharga. Baik itu berupa
materi (barang yang hilang) atau mengembalikan kesehatan atau membantu
seseorang menghafal al-Qur’an. Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan ji’alah
dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling
menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong
dan bahu-membahu. Dengan ji’alah, akan terbangun suatu semangat dalam melakukan
sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan ji’alah
sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa Allah selalu
menjanjikan balasan berupa syurga bagi mereka yang mau melaksanakan
perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik yang ia
kerjakan. Allah berfirman dalam surat al-Zalzalah ayat 7 Artinya: “Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat
(balasan)nya.”
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Setelah membaca dan mempelajari tentang Ji’alah,Rahn dan
Simsar/Samsarah(makelar), kesimpulan dan saran yang dapat kami kemukakan yaitu
:
1)
Agar kita dapat
mengetahui manfaat Ji’alah,Rahn dan Simsar/Samsarah ditengah-tengah masyarakat,
terutama masyarakat modern sangat dibutuhkan untuk memudahkan dunia bisnis.
2)
Praktik gadai
syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang telah berubah
sejak enam – tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian, kini bukan lagi dipandang
tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya sakit atau
butuh biaya sekolah. Lembaga pegadaian saat in juga tempat para pengusaha
mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya. Sebagai ilustrasi seorang
eksportir produk kerajinan membutuhkan dana cepat untuk memberikan modal kerja bagi
para pengrajin binaannya. Maka bisa saja ia menggadaikan mobilnya untuk
memperoleh dana segar beberapa puluh juta rupiah. Setelah produk kerajinannya
jadi dan dieksport, iapun mendapat bayaran dari mitra luar negerinya, selekas
itu pula ia menebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap jalan, likuditas
lancar, dan yang penting kepercayaannya dari mitra bisnis di luar negeri tetap
terjaga.
3)
Islam memandang
pekerjaan makelar dimasukkan pada kategori akad ijarah sebatas ia menetapi
syarat-syarat makelar (samasarah) sesuai dengan aturan yang berlaku menurut
aturan islam.
DAFTAR PUSTAKA
·
Sulaiman Rasjid, Fiqih
Islam, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2004
·
Prof.Dr.H.Hendi Suhendi,Fiqh Mu’amalah,Jakarta,PT.Raja Grafindo
Persada,2010
·
Fiqh Mu’amalah,Drs.Helmi
Karim,M.A,1997,Jakarta,Pt.Rajagrafindo Persada.
·
Drs.GhufronA.Mas’adi,M.Ag.FiqhMu’amalahKonstektual,2002,Semarang,Rajawalipers
·
Rahmat Syafei, Fiqih
Muamalah, Bandung, Pustaka Setia, 2001